Di Jepang, musim semi adalah musim yang penuh dengan makna. Pada zaman kerajaan, para bangsawan biasanya memanfaatkan suasana sejuk di musim semi sebagai inspirasi membuat lukisan dan puisi. Hingga kini pun tradisi musim semi dari Jepang masih dipenuhi nilai-nilai filosofis tinggi. Salah satunya melalui tradisi melihat bunga sakura atau dikenal dengan sebutan hanami.
Hanami berasal dari kata hana wo miru, yang berarti melihat bunga atau ohonami. Hanami merupakan tradisi yang telah dilakukan oleh masyarakat Jepang sejak ribuan tahun yang lalu, saat para bangsawan menikmati pemandangan bunga sakura yang indah sambil menulis puisi.
Jika secara harfiah hanami memiliki arti “melihat bunga”. Kegiatan ini biasanya dilakukan secara bersama-sama di sebuah areal terbuka yang ditumbuhi banyak pohon sakura. Baik di daerah perkotaan maupun wilayah pedesaan, masyarakat akan berbondong-bondong berkumpul di satu titik dengan membawa banyak makanan dan sake.
Kini, semua kalangan masyarakat pun dapat menikmati Hanami sambil berpiknik bersama anggota keluarga maupun teman. Biasanya saat hanami kebanyakan mereka membawa bekal makanan, snack, bahkan membawa perlengkapan untuk barbekyu demi untuk dinikmati bersama pohon sakura.
Para pengunjung biasanya menggelar tikat disepanjang jalan di bawah pohon sakura. Tak hanya itu, mereka juga biasanya menikmatinya sambil meminum sake dan bernyanyi bersama. Saking tingginya antusiasme masyarakat Jepang terhadap hanami, kini banyak bermunculan kompetisi yang menilai mana tempat hanami yang cantik.
Tradisi yang hanya dilakukan di Jepang dan hanya setahun sekali ini pun menjadi incaran wisatawan untuk ke Jepang di sekitar bulan April. Tempat paling baik di Jepang untuk menikmati hanami adalah Osaka Castle, taman Ueno, taman Inogashira, Kamagatani. Pinggir sungai Shinsakai, Pegunungan Yoshino, dan masih banyak lainnya.
Di masa modern seperti sekarang, melihat bunga sakura selalu identik dengan hiburan sekaligus wadah sosialisasi bagi seluruh masyarakat Jepang. Namun siapa sangka, tradisi ini dulunya hanya dilakukan para bangsawan dan keluarga Kaisar di pelataran benteng-benteng kediaman mereka.
Tidak heran jika di balik keriuhannya kini, hanami masih menyimpan nilai-nilai filosofis yang tinggi berkenaan keselarasan antara hidup manusia dengan musim semi di Jepang. Masyarakat Jepang telah mengenal tradisi hanami sejak lebih dari seribu tahun yang lalu. Menurut kisah, tradisi melihat bunga di Jepang sudah ada sejak Zaman Nara sekitar abad ke-8.
Kala itu, bukan bunga sakura yang dikagumi, melainkan bunga dari pohon plum yang berwarna putih. Baru sekitar Zaman Heian yang berlangsung pada abad ke-9 hingga abad ke-12, bunga sakura mulai menarik perhatian para bangsawan dari kelas Samurai.
Menurut tradisi, mematahkan ranting atau memetik bunga sakura merupakan tindakan yang melanggar etika. Meskipun tidak ada aturan resmi, secara kolektif masyarakat Jepang mengganggap mematahkan ranting pohon sakura tanpa izin adalah perbuatan ilegal.
Masyarakat Jepang sadar bahwa kelopak bunga sakura hanya dapat hidup selama musim semi, oleh karena itu harus dipelihara baik-baik. Selain itu, menurut tradisi Buddha Zen, guguran bunga sakura mewakili masa hidup manusia yang singkat. Bunga sakura pada satu pohon hanya hidup selama kurang lebih satu minggu.
Setelahnya, kelopak bunga pada tiap dahan akan gugur dengan indahnya hanya dengan beberapa kali sapuan angin. Konon tiap kelopak bunga yang rontok merupakan simbol jiwa mulia para Samurai yang gugur di medan perang dalam usia muda.