Sejarah Dan Ciri Khas Kain Tenun Atau Sewet Tajung Sumatera Selatan

Sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, Kota Palembang menyimpan banyak keindahan. Mulai dari kuliner yang nikmat, wisata alam yang asri, hingga wastra tradisional yang mereka miliki. Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin sudah mengenal kain songket Palembang dengan benang emasnya yang melambangkan kemakmuran ataupun meriahnya warna kain celup ikat bernama Jumputan.

Sejarah Kain tenun

Kain tenun yang juga dikenal dengan istilah sewet Tajung dan Blongsong merupakan jenis kain tenun khas Palembang yang diperkirakan sudah ada sejak masa Kesultanan Palembang. Penciptaan kain tenun Tajung dan Blongsong didasari karena adanya peraturan kesultanan yang melarang penggunaan kain Songket bagi laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Maka dari itu, muncul kain Tajung, kain tenun berbentuk sarung untuk digunakan oleh laki-laki, dan kain Blongsong, kain tenun berbentuk sarung dan selendang untuk digunakan oleh perempuan.

Pada awalnya, kedua kain ini hanya digunakan oleh para keluarga sultan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat umum pun kini diperkenankan untuk mengenakan kain tersebut. Biasanya, kain tenun Tajung dan Blongsong akan mudah dijumpai pada upacara-upacara adat Palembang seperti cukuran, tunangan, dan pesta perkawinan.

Ciri khas Kain tenun

Kain tenun Tajung dan Blongsong memiliki suasana warna yang cerah dengan motif yang beragam. Kain Tajung biasanya merupakan kombinasi dari motif garis yang membentuk kotak-kotak (Gebeng) dan ornamen geometris yang dihasilkan dari proses limar atau pemelintiran benang. Untuk kain Blongsong, kain tidak memiliki motif kotak-kotak dan hanya dipenuhi oleh motif limar yang menyerupai bentuk bunga, serta untuk kain sarungnya memiliki bagian tengah yang disebut tumpal.

Perbedaan utama antara kain tenun Tajung dan Blongsong dengan kain songket terletak pada benang tenun yang digunakan. Pada songket, para pengrajin biasanya menggunakan benang emas, sedangkan kain tenun Tajung dan Blongsong menggunakan benang sutra biasa. Namun terdapat juga jenis kain yang merupakan gabungan dari Blongsong dan Songket, yang disebut dengan Blongket. Blongket pada dasarnya merupakan kain Blongsong yang ditenun menggunakan tambahan benang emas membentuk ornamen pada Songket.

Untuk satu motif kain Tajung dan Blongsong, diketahui membutuhkan minimal 3.600 helai susunan benang sutra atau katun. Berbeda dengan tenun ikat yang motifnya dibuat dengan pola tertentu yang kemudian diikat dan dicelup ke dalam pewarna berulang kali, proses penyusunan motif dan pewarnaan dalam kain Tajung dan Blongsong dilakukan dengan teknik pelintir atau limar yang digambarkan secara spontan oleh para pengrajin.

Keseluruhan proses pewarnaan, pengeringan, dan penyusunan motif kemudian dapat memakan waktu selama kurang lebih 25 hari hingga satu bulan. Sedangkan proses penenunan kain dapat menghabiskan sekitar 1-3 hari untuk kain sepanjang 2 meter.

Pertama-tama, pengrajin kain Tajung dan Blongsong akan membersihkan gulungan benang yang akan dipakai untuk menghilangkan residu-residu yang dapat menghambat penyerapan zat pewarna. Setelah kering, benang-benang akan disusun dan dibentuk menjadi motif yang diinginkan dengan cara menggintir benang tersebut secara baris demi baris. Kemudian, kumpulan benang ini akan dipelintir mengikuti sebuah pola dan dimasukkan ke dalam pewarna sebelum akhirnya dijemur selama tiga hari tiga malam untuk memastikan pewarna telah menempel pada motif dengan sempurna.

Setelah dikeringkan dan dicuci kembali dengan air hangat, kumpulan benang sutra tersebut dipisahkan helai demi helai. Benang-benang yang akan menjadi benang pakan yang membentuk motif pada kain ini kemudian disusun kembali dengan teratur sesuai dengan motif yang telah digambarkan sebelumnya.

Setelahnya, benang akan melalui proses pemintalan menggunakan mesin kelos tradisional terlebih dahulu hingga benang membentuk gulungan benang yang akan dimasukkan ke dalam alat yang disebut teropong. Teropong yang berisikan gulungan benang kemudian siap diselipkan di antara benang lusi pada alat tenun. Proses tenun ini membutuhkan ketelitian ekstra karena pengrajin harus bisa menempatkan benang dan jarum berdasarkan pola serta memastikan benang-benang tidak kusut disaat yang bersamaan.